Ilustrasi - foto: int

KAREBANUSA.COM, Makassar - Keberadaan Lesbian Gay Biseksual Transgender (LGBT) masih banyak ditolak oleh sebagian besar masyarakat. Alasan utama penolakan LGBT karena norma dan agama. 

Tak jarang, kelompok LGBT mengalami berbagai macam diskriminasi hingga kekerasan, baik fisik maupun psikis.

Telah banyak aksi yang dilakukan untuk menyuarakan persamaan hak, namun masih saja dianggap suara sumbang. 

Untuk itu, komunitas adalah salah satu tempat berekspresi, juga sebagai wadah untuk menguatkan, memberikan edukasi, advokasi, dan lainnya.

Di Sulawesi Selatan, sejumlah komunitas LGBT telah tumbuh sejak beberapa tahun lalu. Sebut saja Kerukunan Waria dan Bissu Sulawesi Selatan (KWRSS), Komunitas Sehati Makassar (KSM), dan beberapa komunitas yang menyuarakan hak-hak LGBT lainya. .

Tidak mudah merunut sejarah pasti gerakan komunitas LGBT di Sulsel. KWRSS tercatat sebagai organisasi tertua di Sulsel. 

KWRSS Bermula dari Kegiatan Porseni Saat Hajatan

KWRSS tercatat sebagai salah satu lembaga/komunitas waria tertua di Sulsel. KWRSS adalah organisasi besar di Sulsel, hampir semua kabupaten/kota di Sulsel terdapat anggota KWRSS. 

Salah satu pendirinya, Haji Ida, menceritakan, perjalanan sejarah KWRSS. Haji Ida tak ingat betul tepatnya KWRSS berdiri, yang dia ingat KWRSS mulai terbentuk pada tahun 1996 di Bulukumba.

KWRSS berawal dari seringnya kawan-kawan waria berkumpul dan berkegiatan. Awalnya para waria ikut berpartisipasi dalam kegiatan hajatan. Di acara hajatan tersebut, para waria mengadakan kegiatan semacam kegiatan Porseni.  

"Kalau siang olahraganya voli, malam acara dangdutan dan peragaan busana," kenang Haji Ida. 

Terbentuknya KWRSS diprakarsai oleh lima orang. Sembari mencoba mengingat H Ida menyebut satu persatu nama para pencetus. "Mami Fitri (alm), Mince, Haji Abdurrahman (Daeng Pa'ja/alm), Abdul Gaffar, dan saya sendiri," ujarnya. 

"Tahun 1992 itu, sebenarnya kita sudah sering berkumpul dan melakukan kegiatan bersama, yakni menggelar Porseni untuk seru-seruan di tempat  hajatan. Pada tahun 1996 usai kegiatan Porseni di Bulukumba, tercetuslah ide untuk membentuk KWRSS," kenangnya.

"Saat itu (tahun 1996), KWRSS sudah ada cuman belum peresmian, pengurus juga belum ada, belum terpilih. Saat itu baru anggota-anggota saja. Secara resmi KWRSS terbentuk pada bulan Maret 1999, " katanya. 

Sejak terbentuknya pada tahun 1996, KWRSS rutin mengadakan Porseni waria setiap tahun. Porseni diselenggarakan di berbagi kabupaten/kota di Sulawesi Selatan dan Barat. 

"Dan setelah Porseni di Wajo, baru kita mulai bentuk pengurus. Dan yang terpilih sebagai ketua saat itu adalah Mami Fitri Pabentengi (alm) dari Bone," ucap Haji Ida.

Meski kebebasan berserikat dijamin oleh Negara melalui UUD 1945 Pasal 28E Ayat (3) yang berbunyi bahwa "kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang", namun kenyataannya tak begitu mulus bagi kelompok LGBT. 

Persekusi, pencekalan, penolakan, dan pembubaran baik oleh aparat maupun ormas keagamaan kerap kali dialami oleh organisasi LGBT. Tak terkecuali anggota KWRSS, di mana beberapa anggota KWRSS merupakan Bissu di Bone. Padahal Bissu mempunyai peran penting dalam spiritual masyarakat Bugis.

Haji Ida bercerita, dulu sebelum tahun 2017, untuk mengadakan Porseni tidak sesulit sekarang. Dulu bahkan KWRSS  diakui oleh pemerintah provinsi saat Amin Syam sebagai Gubernur Sulsel.

"Pak Amin Syam juga mengapresiasi organisasi kita. Bahkan dia pernah membuka Porseni KWRSS di Kabupaten Pinrang," katanya 

"Sejarahnya kerukunan waria Sulsel aman-aman tidak ada hambatan tidak ada masalah-masalah lain yang kita hadapi. Tidak ada masalah-masalah dengan pemerintah maupun tokoh masyarakat, saat itu," paparnya.

Namun pada tahun 2017, gelaran Porseni di Soppeng dibubarkan paksa aparat dari Polres Soppeng. Alasannya,  panitia belum mengantongi izin resmi dari Polda Sulsel. 

"Padahal kita sudah beberapa kali melaksanakan Porseni di Soppeng, tapi baru kali itu dibubarkan," cerita Haji Ida.

Belakangan ini, seiring makin merebaknya sentimen negatif terhadap LGBT, kegiatan Porseni yang mereka selenggarakan kerap kali dibubarkan, dicekal, dan tidak diberi ijin oleh pihak berwajib. 

Haji Ida mencoba kembali mengingat betapa mudahnya menyelenggarakan Porseni sebelum sentimen terhadap LGBT meningkat. Sebutlah Porseni pada tahun 2017 di Soppeng, 2018 di Kabupaten Bone, sampai 2019 di Tana Toraja, kegiatan Porseni tidak berjalan dengan baik.

Oleh karenanya, dia berharap agar keadaan membaik dan para pemimpin bisa mengapresiasi apa yang mereka lakukan.

"Berikanlah kami kesempatan untuk berekspresi, apresiasi untuk kegiatan-kegiatan kami. Karena kami ini menyalurkan bakat seni dan budaya kita, contohnya adalah Bissu," harapnya. 

"Semoga pemimpin yang baru ini bisa menerima kami, tokoh masyarakat juga menerima kami. Menerima keadaan kami, karena kita sama-sama manusia biasa, punya prinsip dan punya pengertian," ujarnya. 

KSM Wadah Perjuangan Advokasi Hak-hak LGBT

Organisasi atau komunitas LGBT lainya adalah Komunitas Sehati Makassar (KSM). Anggota KSM lebih general, sebab tidak semua anggota KSM merupakan LGBT. KSM adalah organisasi berbasis komunitas yang mengadvokasi hak-hak individu Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender.

KSM sendiri adalah sebuah LSM yang bergerak memperjuangkan hak-hak LGBT yang selama ini kerap mendapat diskriminasi dalam mengakses fasilitas publik. 

Di tahun 2000, KSM hanyalah sebuah komunitas chatting beberapa orang gay yang menamai kelompok mereka Gim4mks. Dari ruang chatting, kopi darat, kemudian rutin menyelenggarakan kegiatan. 

Kegiatannya mulai kumpul komunitas, diskusi, sahur on the road, Makassar Q! Film Festival, dan ajang Miss Uniperes (2019 berganti nama menjadi Miss Transpuan).

"Awalnya dari room chating, kemudian kita kopi darat, dan lama-kelamaan kita muncul ide untuk membentuk sebuah komunitas," kata Eman, salah satu pendiri KSM dan juga menjabat sebagai Ketua Sehati. 

"Kebetulan pada tahun 2007, almarhum Widodo Budi Darmo yang merupakan salah satu pendiri Arus Pelangi datang ke Makassar memberikan pelatihan advokasi.  Dari situ kita diinisiasi, diarahkan untuk bentuk sebuah wadah. Maka bersama dengan 6 orang lainnya, kita mendirikan KSM," cerita Eman.

KSM yang saat itu masih berupa komunitas biasa mengenal mulai mengenal isue tentang SOGIESC (Sexual orientation, gender identity, gender expression and sex characteristics), Advokasi dan juga hak-hak LGBT sebagai individu yang setara di mata masyarakat.

Bersama dengan Widodo, KSM memetakan persoalan LGBT di Makassar. Saat itu, ada banyak kasus kekerasan terhadap LGBT yang menguap begitu saja, tanpa pendampingan dan proses advokasi. 

Bahkan beberapa individu LGBT tidak berani mengungkapkan kasus kekerasan yang mereka dapatkan. Tak ada ruang yang benar-benar aman dan nyaman bagi kelompok LGBT. Mereka berpikir bahwa dengan mengedukasi diri, bisa membantu mereka lebih berani. 

"Sebelum KSM terbentuk menjadi organisasi, lebih dulu ada organisasi. Tapi mereka lebih condong bergerak di isu HIV/AIDS. Dan saat memetakan kasus, ternyata banyak teman-teman tidak tau mau kemana atau apa yang harus diperbuat jika mendapat kasus kekerasan atau diskriminasi," ungkapnya. 

Hal senada juga diungkapkan Sugiyono, salah satu pendiri KSM. Ia menambahkan, pelatihan yang diberikan oleh Arus Pelangi menjadi salah satu tumpuan berdirinya KSM. 

"Latar belakang KSM jadi organisasi adalah karena sudah ada embrio atau sudah ada komunitas yang serius dengan berbagai kegiatan positif.  Kita ke-triger untuk membuat organisasi secara serius," beber Ino, sapaannya.

"Sebelumnya kan banyak kegiatan yang intens dilakukan oleh komunitas dan kita berfikir kegiatan-kegiatan ini sayang kalau tidak diwadahi secara serius," kenangnya.

 Ino mengatakan, selain menginisiasi terbentuknya KSM, pelatihan itu juga mendorong kesadaran kritis khususnya ia sendiri untuk sadar hukum dan mengadvokasi diri sendiri. 

"Ini penting, mengingat LGBT sering mendapatkan diskriminasi, baik dari masyarakat maupun negara. Dan  karena LGBT adalah bagian dari warga Negara yang rentan terlanggar hak-haknya, sehingga perlu ada proses Advokasi," terangnya.

Seperti hak untuk mendapatkan rasa aman, layanan publik seperti kesehatan hingga pendidikan, kelompok LGBT cendrung mendapatkan diskriminasi. 

Rasa aman yang dimaksud adalah aman saat sedang menyelenggarakan kegiatan, tidak dibubarkan secara sepihak, tidak dipersekusi di masyarakat maupun, juga ketika mengakses layanan hukum di kepolisian.

 LGBT jadi sangat sulit ketika hendak mengadakan kegiatan keramaian. Dalam kasus ini, sebut saja Ms Transpuan yakni pemilihan ratu waria/transpuan yang setiap tahun diselenggarakan oleh KSM sering kali harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi (tidak di tempat umum). 

Pada waktu itu tidak sulit untuk mereka berkumpul di tempat umum. Sekarang, sudah susah seiring meningkatnya isu radikalisme dan  politisasi agama. 

"Situasinya jauh berbeda. Dulu teman-teman masih bisa berekspresi dengan bebas. Tapi sejak tahun 2010, keadaan mulai berubah. Beberapa kegiatan kami seperti Miss Universe (pemilihan ratu waria/transgender) pernah dibubarkan oleh ormas," ujar Ino.

"Dulu kita kumpul-kumpul dan berkegiatan dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Kalau misalnya ingin bikin kegiatan di tempat umum biasa saja. Kalau sekarang susah. Beberapa kantor polisi tidak memberikan izin," tambahnya.

(H. Ida salah satu pendiri KWRSS)

Meski enggan menyebut kantor polisi mana yang tidak memberikan ijin, Ino menyebut dari  tiga kantor polisi (polres) di Makassar, ada satu  secara jelas tidak memberi ijin. Dua sisanya mengamati dulu kegiatan tersebut. Jika sekiranya acara tidak mengundang reaksi dari masyarakat maka akan dipertimbangkan untuk mengeluarkan surat ijin. 

Ino berharap negara bisa hadir dan memberikan perlindungan dan jaminan  kepada kelompok rentan termasuk orang dengan keberagaraman SOGIESC.

LBH Makassar: Punya Hak Sama, Hentikan Diskriminasi terhadap LGBT

Lembaga Penegak Hukum (LBH) Makassar mengatakan, LGBT harus mendapatkan hak yang sama dan setara sebagai warga negara. Yaitu kebebasan berkumpul, berserikat dan berekspresi seperti yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 28E Ayat (3).

Hal ini disampaikan Wakil Direktur Internal Advokat Publik LBH Makassar, Aziz Dumpa. Ia mengatakan, sebagai negara hukum, Indonesia memiliki kewajiban untuk menghromati, memenuhi dan melindungi hak asasi manusia setiap individu warganya.

"Konstitusi kita menganut prinsip utama yakni semua orang sama di hadapan hukum (equality beore the law) dan menganut  prinsip non diskriminasi. Artinya tidak ada satupun alasan yang dibenarkan untuk melakukan diskriminasi dengan alasan apapun, termasuk perbedaan gender dan orientasi seksual," paparnya.

Ia menambahkan, ketika ada orang yang mendapatkan kekerasan dan didiskriminasi, maka negara wajib memberi perlindungan tanpa terkecuali.

"Faktanya kelompok LGBT mendapatkan stigma oleh masyarakat, yang membuat mereka dalam keadaan rentan mendapatkan kekerasan dan diskriminasi dalam berbagai bentuk. Seperti kekerasan fisik, verbal, ditolak untuk bekerja," katanya. 

"Ketika bekerja, tak jarang mereka dikeluarkan dari pekerjaannya ketika diketahui identitas seksual nya, dalam bidang pendiikan juga demikian, mereka kesulitan mengakses pendidikan," tambahnya.

Diskriminasi juga tidak luput ketika mereka ingin mengakses keadilan ketika mendapat kekerasan. Aziz menambahkan, dalam banyak kasus penegak hukum justtru menjadi pelaku kekerasan baru, dan menyalahkan LGBT karena ekspresi dan identitas gender mereka. 

Padahal, ucap Aziz, seharusnya mereka ditempatkan sebagai korban, tidak perduli apa orientasi seksual dan juga ekspresi gender mereka.

"Setiap tahun selalu ada permohonan atas pelanggaran hak-hak kelompok LGBT. Jadi kalaupun dalam satu periode waktu kasus pelangaran hak-hak mereka menurun bukan berarti kasusnya tidak ada. Tapi karena mereka ketakutan untuk berkespresi di ruang publik," katanya.

"Contohnya peristiwa pembubaran porseni waria pada tahun 2017. Itu membuat mereka justru menjadi urung melakukan kegiatan serupa yang sebenarnya sudah dilakukan bertahun-tahun, karena tidak ada jaminan mendapatkan perlindungan dari negara. Bahkan negara sendiri yang menjadi pelaku."


Baca juga